Search

Perspektif Perempuan Minangkabau terjun dalam Perpolitikan

Berbicara tentang perempuan dan politik, merupakan pembahasan yang menarik karena dilihat dari pandangan feminis radikal ialah terjadinya suatu transformasi total, posisi perempuan di dalam konteks lokal atau umum dengan kesetaraan gender.

Partisipasi perempuan dalam politik harus diimbangi dengan laki-laki yang secara masif mendominasi posisi politik. Hal ini karena hak laki-laki dan perempuan memiliki pengakuan yang sama dalam kehidupan bernegara di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, tidak ada hal-hal yang bersifat diskriminatif gender. UUD 1945 tidak memuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki persamaan hak hukum dalam segala bidang kehidupan, termasuk kesetaraan dalam bidang organisasi kemasyarakatan.

Dalam budaya patriarki identitas perempuan diidentikkan dengan sifat lemah lembut dan membutuhkan perlindungan untuk membuatnya semakin lemah dan mudah didominasi. Mitos yang diciptakan tentang perempuan dalam budaya patriarki menghalangi perempuan untuk mengembangkan kekuatan serta potensi yang ada pada tubuhnya dan bukan untuk membuatnya kuat serta mampu bertahan dan berkreasi dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Di dalam budaya patriarki kelemahan tubuh perempuan dijadikan  kelemahan absolut sebagai jenis kelamin kedua.

Gerakan feminis bergolak hanya ingin meraih posisi setaranya dengan maskulinis di ruang publik. Bagi feminis dapur dan ranjang adalah ruang di mana perempuan tak berdaya dan acap kali tersiksa. Karenanya, dua ruang ini dianggap tempat paling tidak adil dan perempuan harus keluar dari situ untuk meraih kesetaraannya.

Kesetaraan dan keadilan gender, baik dari sisi hak politik maupun peran politik dan kehadirannya di lembaga-lembaga politik, belum terwujud dan masih tertinggal jauh. Dalam berbagai kebijakan yang menyangkut harkat dan martabat kehidupan masyarakat, termasuk perempuan dan anak, berbagai kebijakan dilakukan oleh badan eksekutif dan legislatif. Wilayah Provinsi Sumatera Barat atau juga biasa disebut dengan suku Minangkabau memaknai politik ketika hidup dan berada di tengah budaya matrilineal mengingat suku Minangkabau sangat menghargai kedudukan perempuan.

Matrilineal berarti keturunan dan pembentukan kelompok turun temurun diatur menurut garis ibu (Koentjaringrat, 2007). Hal ini sejalan dengan persepsi bahwa masyarakat dan budaya Minang mengandung nilai-nilai demokrasi yang terlihat dari ungkapan “duduak samo randah tagak samo tinggi” yang mencerminkan egalitarianisme budaya Minang termasuk bagi perempuan.

Dalam sistem matrilineal di Minangkabau, perempuan ditempatkan pada posisi sentral, perempuan dianggap memiliki kekuasaan atas warisan dalam keluarga. Dalam ketentuan adat, bundo kanduang harus memiliki sifat kepemimpinan, antara lain jujur, amanah lahir dan batin, cerdas dan berilmu, pandai berbicara dan pemalu. Jika dirinci, karakteristik kepemimpinan perempuan yang ditentukan dalam adat Minang tidak berbeda dengan kepemimpinan pada umumnya.Di Provinsi Sumatera Barat, keterwakilan perempuan di parlemen atau DPRD menunjukkan penurunan. Pada beberapa kabupaten kota juga terjadi penurunan jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi DPRD. Bahkan ada kabupaten yang tidak memiliki wakil perempuan di DPRD, seperti Kabupaten Mentawai dan Kabupaten Solok Selatan. 

Oleh karena itu, jika dilihat dari sejarah besarnya peran perempuan Minangkabau di masa lalu, tentu dapat dipahami bahwa peran mereka tidak melanggar adat. Sebaliknya, justru memperkuat posisinya di tengah pentingnya kekuasaan dalam upaya menyelamatkan pemerintah daerah.Bila disimak referensi yang menyatakan tentang kebudayaan Minangkabau, khususnya tentang perempuan banyak ungkapan yang melambangkan tingginya peran dan kedudukan perempuan Minang tersebut. Ia dilambangkan sebagai limpapeh rumah nan gadang, sumarak anjuang nan tinggi, dsb. Ungkapan ini sudah begitu sering dilafazkan bukan? Dan, khusus untuk perempuan dewasa atau kaum ibu digunakan istilah bundo kanduang. Sebutan bundo kanduang bukanlah sekadar istilah saja tapi lebih dari itu.

Namun sayangnya, posisi perempuan kuat berbanding terbalik dengan keterlibatannya dalam politik. Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang masih rendah partisipasi perempuan dalam politik. Sejak 2004, hanya lima orang atau setara dengan 9,09 persen perempuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) yang terpilih.

Meski pada periode 2009-2014 sempat meningkat menjadi tujuh orang (12,72 persen), angka itu kembali turun pada periode 2014-2019 menjadi enam orang. Padahal, pada periode 2019-2024, diketahui hanya empat perempuan anggota DPRD Sumbar yang terpilih.Di tingkat pimpinan daerah, angkanya sama. Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2016-2021, dari tujuh kota dan 12 kabupaten di Sumbar, walikota dan bupati terpilih seluruhnya berjenis kelamin laki-laki.

Fakta bahwa rendahnya partisipasi perempuan dalam ranah politik cukup membuktikan bahwa budaya matrilineal kepemimpinan perempuan dalam masyarakat Sumatera Barat hanya berlaku dari perspektif budaya atau adat masyarakat Minangkabau, sedangkan dalam tatanan politik yang lebih formal adalah tidak begitu berpengaruh.

Rendahnya minat dan motivasi politik menyebabkan rendahnya kesadaran akan pentingnya perempuan dalam kepemimpinan politik. Sikap egaliter terhadap perempuan yang memegang jabatan terpilih melalui pemilu dan nilai-nilai egaliter tidak secara signifikan terkait dengan jumlah suara yang diperoleh perempuan yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan posisi kepemimpinan politik.

Peluang untuk mendapatkan posisi kepemimpinan politik bagi perempuan Minangkabau masih sangat kecil, tidak didukung oleh peraturan perundang-undangan yang eksplisit dan tindakan afirmatif dari pemerintah daerah dan pusat. Peluangnya akan lebih luas, jika perempuan ingin berjuang lebih progresif karena untuk mendapatkan segalanya termasuk posisi politik yang saat ini harus diambil.

Menurut saya dengan adanya tradisi matrilineal yang memposisikan perempuan sebagai pemegang warisan budaya, yang mana sistim ini sebagai acuan semangat dan  landasan bagi saya sebagai perempuan dalam mewakili suara perempuan di arena politik.

Dalam pandangan saya, peran seorang caleg perempuan tak hanya mengenai hak-hak perempuan saja, melainkan juga tentang menciptakan kebijakan yang mengakomodasi keberagaman dan keadilan bagi seluruh masyarakat. dengan adanya sistem matrilineal yang kita anut dapat menghargai peran perempuan sebagai penjaga nilai budaya dan keluarga yang mana harus tercermin dalam kebijakan dan program pembangunan nantinya.

Sebagai caleg perempuan, saya berkomitmen untuk mengakselerasi akses pendidikan setara, peluang pekerjaan yang adil, dan layanan kesehatan yang memadai bagi perempuan.


AZNEM VARIA VELLY, SE


0 Comments